Pendekar Tongkat Emas: Mari Pulang ke Masa Keemasan Komik dan Sandiwara

Wayan Diananto | 25 Desember 2014 | 07:54 WIB

TABLOIDBINTANG.COM - "Heningkan ciptamu. Sunyikan batinmu dari suara-suara sumbang. Ada satu hal lagi yang harus kuberitahukan kepadamu," bisik Cempaka (Christine) kepada muridnya, Dara (Eva), di sebuah bilik, di Perguruan Tongkat Emas. Dara terpilih sebagai satu-satunya pewaris Tongkat Emas dan Jurus Tongkat Emas Melingkar Bumi. Padahal, ia bukan satu-satunya yang digembleng Cempaka.

Ada Biru (Reza) murid paling cerdas menyerap jurus yang diajarkan Cempaka. Ada Gerhana (Tara), dengan level kedigdayaan di atas Dara. Angin (Aria Kusuma), murid termuda. Dara gemetaran tatkala kali pertama memegang tongkat. Selanjutnya, ia dan Cempaka menuju tempat terpencil di mana Jurus Tongkat Emas Melingkar Bumi akan diwariskan. Keputusan Cempaka membuat hati Biru panas. 
    
Ia bergegas meninggalkan ruang pertemuan seraya menahan amarah di dada. Angin mencium gelagat buruk. Ia menguntit Biru. Sementara kesehatan Cempaka memburuk. Dalam perjalanan ke luar perguruan, Cempaka tak kuat lagi. Tidak dinyana, Biru dan Gerhana membututi. "Serahkan Tongkat Emas itu!" pinta Biru dalam raut bengis. Pertempuran tak dapat dielakkan. 
    
Baku hantam berakhir dengan terpelantingnya Dara dari tebing. Saat itulah, Elang (Nicholas) berkelebat menyelamatkan Dara. Adegan ini seketika memulangkan kami ke masa 20 tahun lalu. Kami terkenang adegan Mei Shin disatroni Dewi Sambi di Gunung Arjuno. Pertarungan berakhir dengan Mei yang bersimbah darah terkena Ajian Tapak Wisa. Ia jatuh dari tebing.
    
Anak-anak Mei, Ayu Wandira dan Panji Ketawang, diselamatkan Nini Raga Runting. Di dasar jurang, Mei Shin "disambar" Tabib Wong Yin. Ini awal mula Mei Shin bertransformasi identitas menjadi Nyai Paricara. Inilah karakter hakiki cerita silat (dari komik maupun sandiwara). Ritme mengalir cepat membawa sang tokoh ke tempat baru, bertemu kenalan baru, dan babak baru.
    
Itu sebabnya, ketika membaca komik, ketika ketagihan dan bertanya apa lagi yang akan terjadi setelah ini? Itu sebabnya, sandiwara radio dibagi beberapa episode. Satu episode terdiri dari (biasanya) 30 seri. Masing-masing seri berdurasi 30 menit. Bulan baru bagi penyuka sandiwara radio seperti kami berarti episode baru. Berarti pula, petualangan baru.
    
Maka, Pendekar Tongkat Emas (PTE) seumpama episode pada suatu masa. Masa ketika ajian (yang divisualkan oleh generasi Imam Tantowi ke dalam sinar yang terpendar dari telapak tangan sang pendekar) belum dikenal. Masa ketika teknologi tercanggih baru sebatas roda. Masa ketika pendekar belum bisa terbang. Dengan kata lain, ini silat klasik di titik paling realistis.
    
PTE adalah kisah Cempaka dan murid-muridnya di sebuah tempat yang bisa jadi berada di sisi jauh tanah Jawa atau Pasundan. Bisa jadi, Jawa telah mengenal kereta kencana dan senjata logam. Budaya, teknologi, dan sistem sosial kerajaan (mungkin) sudah dikenal di Jawa dan Pasundan namun belum sampai ke tanah Cempaka dan para datuk rimba persilatan berdiam. 
    
Meski demikian, Mira, Ifa, Jujur, dan Seno di departemen naskah tahu betul elemen-elemen apa yang dibutuhkan untuk menghidupkan cerita seambisius ini. Yang khas dari komik dan sandiwara radio adalah perebutan senjata dan jurus atau ajian. Epos besar Tutur Tinular bermula dari perburuan Pedang Naga Puspa dari daratan China, eh, Tiongkok ke tanah Jawa.
    
Babad Tanah Leluhur meski lebih kental roman cinta segi tiga Saka Palwaguna, Anting Wulan, dan Intan Pandidi tetap berujung pada Ajian Kincir Metu dan Kujang Cakra Buana. Para pendekar itu dilatari perguruan dan guru. Arya Kamandanu (Tutur Tinular) meski kurang spesifik murid perguruan mana, ia belajar kanuragan di Desa Kurawan oleh Empu Ranubhaya. Saka Palwaguna, Anting Wulan, dan Seta Keling adalah murid perguruan Goalarang.
    
Elemen pendekar, jurus, senjata, dan perguruan dimiliki pula oleh PTE. Produksi Miles Films ke-14 ini semacam tribute atau penghormatan bagi pionir di dunia komik maupun sandiwara seperti Hengki, S. Tidjab, dan Niki Kosasih. Ini juga tribute untuk Anda yang dibesarkan oleh "pertunjukan suara", yang membuat imajinasi menari membayangkan para jagoan sakti mandraguna itu. Seperti halnya Tutur, Babad, serta Saur, skenario PTE dibangun menyerupai rumah dengan banyak pintu. Pintu-pintu itu karakter yang termanifestasi dalam wujud pendekar. Silakan pilih pintu (pendekar) yang Anda suka. 
    
Kami (terus terang) melewatkan Elang dan Dara. Bagi kami, pendekar harus ambisius dan tidak 100 persen berhati suci. Bukan berarti yang menyukai Elang keliru. Sama halnya saat mendengar Saur Sepuh, kami merasa Lasmini si Kembang Gunung Lawu itu: gue banget. Femme fatale yang cintanya pada Brama tak berbalas. Kepahitan hidup dan tumpukan kesumat membuatnya menjadi pendekat genit dengan amarah menggugus. Dendam elemen berikutnya, yang harus ada.
    
Lagi-lagi, PTE punya elemen ini. Romansa pun, meski tidak sepekat Babad, juga dimiliki PTE. Ia bukan semata pengulangan sejarah persilatan dengan panorama nan elok. (Maklum, lanskap Sumba Timur di film ini bagai kepingan surga yang jatuh di antara perairan laut Timor, Flores, dan Samudera Hindia). Lebih dari itu, PTE contoh ideal jika membahas film, yang dipersiapkan matang dari aspek sinematografi, akting, kostum, dan ilustrasi musik.
    
Erwin Gutawa sadar, latar PTE lebih purba daripada Tutur dan Babad. Ilustrasi yang dihadirkan berupa repetisi ritme yang kering melodi. Makin tua zaman, makin tangga nada diatonik dan pentatonik kurang dikenal. Melodi yang kaya baru muncul di titik-titik genting untuk mengantar kita ke klimaks.
    
PTE melegitimasi Mira Lesmana atau Miles atau Mbak M, atau terserah Anda memanggil anak pendekar jazz Jack Lesmana ini, sebagai salah satu ego terbaik di industri film kita. Ketika ruang gerak menyempit, Mira menciptakan ruang geraknya sendiri. Jangan heran jika satu dua tahun lagi, Mira punya ide liar lagi. Saat itu, kita mungkin bertanya, "Mira mau bikin apa lagi, sih?" Sebelum itu terjawab, akan muncul pertanyaan lanjutan, "Masa iya kita masih perlu meragukan karya Mira?"

Pemain    : Eva Celia, Nicholas Saputra, Reza Rahadian, Tara Basro, Christine Hakim
Produser    : Mira Lesmana
Sutradara    : Ifa Isfansyah
Penulis        : Jujur Prananto, Seno Gumira Ajidarma, Mira Lesmana, Ifa Isfansyah 
Produksi    : Miles Films, KG Studio
Durasi        : 112 menit
 
(wyn/adm)
Foto: Dok. Miles Films

Penulis : Wayan Diananto
Editor: Wayan Diananto
Berita Terkait